Kamis, 19 Juli 2012

FENOMENA KEHIDUPAN PEJABAT DAN RAKYAT


FENOMENA KEHIDUPAN
PEJABAT & RAKYAT
Oleh: Imam Sayuthi

Dari lapisan masyarakat manapun memvonis negara Indonesia sebagai negara yang terkenal dengan KKN-nya (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) baik dari lapisan masyarakat bawah maupun lapisan masyarakat atas. Tidak jarang masyarakat main belakang yang sekarang dikenal dengan istilah “untuk mempercepat proses” untuk mencapai tujuannya. Mereka nyemir, nyemor suatu instansi yang mempunyai prioritas tinggi dalam hal tetentu baik dalam ruang lingkup formal maupun non formal.
Seorang peminpin mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap bawahannya, pemerintah lebih-lebih kepada Allah SWT. Kita tahu bahwa untuk menjadi seorang peminpin harus kuat baik itu mental maupun kesiapan diri yang matang untuk menghadapi segala kemungkinan baik itu positif maupun negatif. Seorang peminpin juga harus siap di cela, di caci dan di puji serta di junjung dan disegani baik oleh bawahan ataupun masyarakat. Seperti inilah potret seorang peminpin yang sejati yang bisa mengayomi serta mensejahterakan masyarakatnya. Seharusnya bagi seorang peminpin memiliki prinsip “Lisan Al hali afshohu min lisan Al maqol”.
Sebenarnya adanya “main belakang” atau “cara cepat” dalam menempuh suatu tujuan merupakan krisisnya budaya antre sehingga jalan pintaspun mereka tempuh. Bahkan baru-baru ini ada istilah cepat dan lambat. Mereka tidak segan-segan menyatakannya secara langsung kepada yang bersangkutan sehingga “orang yang mempunyai kepentingan” secara langsung meresponnya. Pada masa sekarang, hal ini sudah tidak lagi disebut mitos tetapi hal ini sudah termasuk fenomena yang terjadi baik antara pejabat maupun masyarakat. Mereka melakukan seperti itu tentu sudah mempunyai argumentasi ampuh yang jauh dari diskursif undang-undang dan sikap adiktifpun membudaya. Muhammad Toha, S. Pd.i berpendapat bahwa yang patut disalahkan dalam hal diatas adalah masyarakat itu sendiri (orang yang berkepentingan) karena masyarakat itu sendiri yang pertama kali memberikan kesempatan kepada orang tesebut untuk main belakang. Akhirnya, timbullah istilah bisa karena biasa. Akibat dari hal ini, maka rasa malupun sudah tidak ada lagi di benak mereka baik kepada masyarakat secara umum maupun kepada Allah SWT. Na’udubillah
Salah satu diantara penyebab timbulnya anomali sosial adalah makanan yang kita konsumsi yang akan masuk pada perut dan tubuh secara umum. Perut adalah salah satu bagian dari tubuh kita yang terdiri dari beberapa organ. Perut juga merupakan pusat dari penyakit. Seperti kita memakan makanan terlalu banyak, maka perut kita akan sakit, memakan makanan yang tidak sehat, perut kita juga akan sakit. Semakin banyak kita makan maka semakin rentan dan sensitif terhadap suatau penyakit. Sebenarnya konklusi dari semua ini adalah bagaimana kita mengatur cara makan kita atau eat style (gaya makan). Nabi Muhammad sebenarnya telah mengajarkan kepada kita bahwa makanlah ketika lapar dan behentilah sebelum kenyang. Dalam Al Quran juga sudah mengajarkan bahwa kita dianjurkan memakan makanan yang halal lagi baik seperti dalam surat Al maidah: 88 dan Al Baqarah:172.
Jika kita teliti, sebenarnya secara mayoritas kita berperang, bertengkar, saling musuh-musuhan dan lain sebagainya hanya gara-gara perut semata. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa tidak semua makanan harus kita konsumsi karena akan ada hal-hal negatif yang akan mempengaruhi pada kehidupan dan sikap mental kita. Sedangkan dari makanan yang halal akan membuahkan sikap mental yang baik dan budi pekerti yang luhur karena sesuatu yang dimakan oleh seseorang secara langsung akan diserap oleh tubuh melalui peredaran darah dan diedarkan ke seluruh tubuh. Makanan yang halal adalah makanan yang boleh dimakan. Menurut ajaran islam, yang hakekat kehalalannya meliputi tiga hal :
1.       Halal zatnya
2.       Halal cara memperolehnya
3.       Halal cara pengolahannya
Dalam hadits riwayat Imam Bukhori diterangkan yang artinya “Waspadalah bahwa pada setiap tubuh manusia itu ada segumpal daging. Apabila (segumpal daging itu) baik, maka baiklah seluruh tubuh dan jika segumpal daging itu buruk atau rusak maka rusak pula seluruh tubuhnya, ketahuilah ia (segumpal daging itu) adalah hati”. Ketika ada orang, banyak melakukan perbuatan maksiat maka harus diintrospeksi atau di evaluasi, apakah ada barang yang tidak halal yang pernah ia konsumsi? Kemudian, apakah shalatnya khusuk atau tidak? Karena As shalatu Tanha ‘Anil Fahsya’I Wal Mungkar. Hal ini harus betul-betul diperhatikan karena kita hidup didunia hanya sebentar dan kita mempunyai kesempatan untuk memperbanyak amal ibadah didunia sebagai bekal nanti dihadapan Allah SWT. Sebagaimana firman Allah : Wama kholaqtu Al Jinna wa Al Insa illa Liya’budun.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa makanan sangat berpengaruh terhadap sikap mental seseorang. Semakain banyak kita mengkonsumsi makanan yang yang tidak halal, maka semakin banyak pula perbuatan negatif yang akan dilakukannya. Bukan hanya itu, makanan juga akan mempengaruhi cara berpikir kita yang mana akan selalu terdominasi terhadap hal-hal yang negatif. Mungkin saja seorang peminpin yang diskursif dan jauh dari rasa akuntabilitas dari amanat yang diembannya temasuk mengkonsumsi hal-hal yang sudah diterangkan di atas.
Oleh karena itu, marilah kita budayakan sikap mau antre sehingga tidak merugikan orang lain agar tercipta keharmonisan antar sesama. Marilah kita bersama-sama memberantas sedikit demi sedikit mulai dari tingkat keluarga, lingkungan, wilayah dan negara secara umum. Siapa lagi kalau bukan dimulai dari kita, yang mana akhirnya anak cucu kita yang akan menikmatinya. Jika kita sadari konsekwensi dari hal tersebut tentu kita tidak akan melakukannya karena itu sangat merugikan baik pada diri kita sendiri, masyarakat maupun negara.

Makalah S2-Landasan Pengembangan Kurikulum


LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM

Kurikulum merupakan wahana belajar-mengajar yang dinamis sehingga perlu dinilai dan dikembangkan secara terus-menerus dan berkelanjutan sesuai dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat (Depdikbud, 1986:1). Pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang menentukan bagaimana pembuatan kurikulum akan berjalan. Bond dan Wiles (1989:87) mengemukakan bahwa pengembangan kurikulum yang terbaik adalah proses yang meliputi banyak hal yakni: (1) kemudahan-kemudahan suatu analisis tujuan, (2) rancangan suatu program, (3) penerapan serangkaian pengalaman yang berhubungan; dan (4) peralatan dalam evaluasi proses ini. Secara singkat, pengembangan kurikulum adalah suatu perbuatan kompleks yang mencakup berbagai jenis keputusan (Taba, 1962:6).
Pengembangan kurikuum mengacu pada tiga unsur, yaitu: (1) nilai dasar yang merupakan falsafah dalam pendidikan manusia seutuhnya; (2) fakta emperik yang tercermin dari pelaksanaan kurikulum, baik berdasarkan penilaian kurikulum, studi, maupun survei lainnya; dan (3) landasan teori yang menjadi arahan pengembangan dan kerangka penyorotnya (Depdikbud, 1986:1).
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.
Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan empat landasan utama dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1) filosofis; (2) psikologis; (3) sosial-budaya; dan (4) ilmu pengetahuan dan teknologi..Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas keempat landasan tersebut.
1.       Landasan Filosofis
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Filsafat boleh juga didefinisikan sebagai sebuah studi tentang: hakikat realitas, hakikat ilmu pengetahuan, hakikat sistem nilai, hakikat nilai kebaikan, hakikat keindahan, dan hakikat pikiran (Winecoff, 1988: 13). Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti : perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran – aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati (2003), di bawah ini diuraikan tentang isi dari-dari masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
  1. Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
  2. Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
  3. Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia? Apa pengalaman itu?
  4. Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
  5. Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu ? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional.
Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun demikian saat ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme.
2.       Landasan Psikologis
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Masih berkenaan dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori psikologi yang mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi merupakan “karakteristik mendasar dari seseorang yang merupakan hubungan kausal dengan referensi kriteria yang efektif dan atau penampilan yang terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi“.
Selanjutnya, dikemukakan pula tentang 5 tipe kompetensi, yaitu :
a.       Motif; sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi.
b.       Bawaan; yaitu karakteristik fisik yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau informasi.
c.       Konsep diri; yaitu tingkah laku, nilai atau image seseorang;
d.       Pengetahuan; yaitu informasi khusus yang dimiliki seseorang; dan
e.       Keterampilan; yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik maupun mental.
Kelima kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap perencanaan sumber daya manusia atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada permukaan ciri-ciri seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih tersembunyi dan lebih mendalam serta merupakan pusat kepribadian seseorang. Kompetensi permukaan (pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan. Pelatihan merupakan hal tepat untuk menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit untuk dikenali dan dikembangkan.
Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (2002) menyoroti tentang aspek perbedaan dan karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya terdapat lima perbedaan dan karakteristik peserta didik yang perlu diperhatikan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu : (1) perbedaan tingkat kecerdasan; (2) perbedaan kreativitas; (3) perbedaan cacat fisik; (4) kebutuhan peserta didik; dan (5) pertumbuhan dan perkembangan kognitif.
3.       Landasan Sosial-Budaya
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat.
Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.
Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukmadinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang.
Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial – budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun global.
4.       Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia masih relatif sederhana, namun sejak abad pertengahan mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan teori-teori baru terus berlangsung hingga saat ini dan dipastikan kedepannya akan terus semakin berkembang
Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Pada jaman dahulu kala, mungkin orang akan menganggap mustahil kalau manusia bisa menginjakkan kaki di Bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat di Bulan dan Neil Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan.
Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal.
Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih, sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi siatuasi yang ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian..
Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup manusia.
Landasan Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni. Nana Sy. Sukmadinata (1988:82) mengemukakan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara langsung akan menjadi isi/materi pendidikan. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks) juga dimanfaatkan untuk memecahkan masalah pendidikan.



DAFTAR PUSTAKA

Ø  Daeng Sudirwo. 2002 Otonomi Perguruan Tinggi Hubungannya dengan Otonomi Daerah. Manajerial. Vol .01. No1:72-79
Ø  Deddiknas. 2003. Standar Kompetensi Bahan Kajian; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
Ø  ________. 2003. Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang
Ø  ________. 2003. Penilaian Kelas; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
Ø  E. Mulyasa.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Ø  _________. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Ø  _________. 2006. Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya
Ø  Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Ø  Permendiknas No. 22, 23 dan 24 Tahun 2007
Ø  Tim Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran.2002. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.
Ø  Uyoh Sadulloh.1994. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: P.T. Media Iptek